Posted by: yonariza | April 20, 2013

Akhirnya saya GO BLOG

Buku Guru Go Blog-nya Muhamad Adri (2008. PT Elex Media Komputindo) yang berisi panduan praktis tentang Optimalisasi Blog untuk Pembelajaran sudah ku beli setahun lalu. Jangankan untuk dibaca buku itu ku simpan rapi dalam rak bersama CD-nya sambil berdoa waktu yang pas akan datang untuk memulai Blog ku sendiri. Akhirnya momentum  itu datang juga, Pasca Sarjana Universitas Andalas mengharuskan semua dosen untuk mempunyai blog sendiri untuk optimalisasi pembelajaran. Dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim, yonariza.com diluncurkan. Judul sementara blog ini adalah Yonariza, Pengabdi Ilmu Pertanian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Supaya ndak terkesan gratisan, aku pilih blog berbayar (murah), juga supaya ada sedikiti privasi. Jadi walau blog ini menumpang di WordPress, tapi ekstensinya tidak pakai wordpress.

Tampaknya, Yonariza Blog ini akan dibuat bilingual, English dan Bahasa Indonesia.

Kepada para penggiat pembangunan pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam, semoga Blog ini dapat dioptimalkan untuk pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Silahkan posting komentar  yang anda anggap penting sekaitan dengan pembelajaran.

Advertisement
Posted by: yonariza | June 19, 2019

Daftar Penelitian

NO. JUDUL PENELITIAN JUMLAH DANA (Rp) Lembaga Pemberi dana TAHUN Nama Lembaga  yang terlibat  Kerjasama Penelitian
1. Pasar, Perubahan Penggunaan Lahan, Dan Pelayanan Jasa Lingkungan, Kasus Daerah Tangkapan Air (DTA)  PLTA Koto Panjang 110,000,000 Univ. Andalas 2018
2. Forest Social-Ecological System (SES) in implementing REDD+ projects in Indonesia, Thailand, Vietnam, and Myanmar 1.000.000.000 Toyota Foundation 2016-2017 Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok Thailand
3. Ekonomi Rehabilitasi Hutan 180,000,000 PMDSU DIKTI 2014-2016
4. Rehabilitasi Hutan Berbasis Masyarakat 180,000,000 PMDSU DIKTI 2014-2016
5. Bridging Policy Practice Gap in the Effective Implementation of REDD+ Programs in SE Asia: Collaborative Learning among Indonesia, Thailand, and Vietnam 90,000,000 Toyota Foundation 2014 Asian Institute of Technology
6. Kajian Pengembangan Komoditi Pertanian Kecamatan Bonjol dan Kecamatan Simpati, Kab. Pasaman (sebagai Ketua tim Peneliti) 100,000,000 Pemda Kab. Pasaman 2014 BAPPEDA KAB. PASAMAN
7. Kajian Pengembangan Komoditi Pertanian Kecamatan Tigo Nagari, Kab. Pasaman (sebagai Ketua tim Peneliti) 100,000,000 Pemda KAB. PASAMAN 2013 BAPPEDA KAB. PASAMAN
8. Kajian Jasa Lingkungan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sijunjung (sebagai ketua tim peneliti) 125,000,000 Pemda Prov. Sumatera Barat 2013 Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat
9. Kajian Pengembangan Komoditi Pertanian Kecamatan Duo Koto, Kab. Pasaman (sebagai Ketua tim Peneliti) 100,000,000 Pemda KAB. PASAMAN 2012 BAPPEDA KAB. PASAMAN
10. Kajian Pengembangan Agribisnis Jagung Propinsi Sumatera Barat (sebagai tenaga ahli) 100,000,000 Pemda KAB. PASAMAN 2011 BAPPEDA KAB. PASAMAN
11. Protected Area and Local Livelihood,  a study of Barisan I Nature Reserve in West Sumatra Indonesia 70.000.0000 Ford Foundation 2005  
12. Socio-Economic Impact Study of Integrated Conservation And Development Project (ICDP) Kerinci Seblat National Park (KSNP). 225.000.000 Kerjasama Unand dengan Agriconsulting Sp.A. Indonesia 2002  
13. A study of improvement of irrigation management and empowerment of water user association for enhancement of the turnover program 300.000.000 Kerjasama PSI-SDALP Unand dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) 2001  
14. Studi tentang Pengembangan Sumberdaya Air pada DAS Anai Kandis dan Kuranji   Kerjasama PSI-SDALP Unand dengan Dinas Kimpraswil Prop. Sumbar 2001  
15. Inventarisasi dan Indentifikasi Pencadangan Areal Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan di Propinsi Sumatera Barat seluas 200.000 ha Tahun Anggaran 1999/2000   Kerjasama Fak. Pertanian Unand dengan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat 2000  
16. Southeast Asia Land Tenure in Transition, Cases from Indonesia, Philippines, and Thailand). Funded by Japan Foundation And Toyota Foundation   SEASREP

Grant Number

99-EC-01

1999/

2000

 
17. Sistem penguasaan tanah dan degradasi lahan, studi penanganan lahan kritis  di Sumatera Barat   013/P21PT/DPPM/98/

LITMUDA/V/1998

1998/

1999

 
18. Comparative Study on Land Tenure System In Three Countries Of Southeast Asia (Indonesia Philippines, And Thailand): An Exploratory Collaborative Work. Funded by  Japan Foundation And Toyota Foundation Ketua Tim SEASREP

Grant Number

98-Ec-03

1998-1999  
19. Sintesis Kajian Irigasi di Sumatra Anggota Pusat Studi Irigasi Univ. Andalas 1996-1997  
20. Agricultural transformation and land tenure system, a study of shifting cultivation community in East Rao, Pasaman District, West Sumatra Ketua Ateneo de Manila University 1996  
21. Pre-Feasibility of Bt.Lembang Watershed Development Project in Solok District, Province Of West Sumatra Anggota Dinas PU Pengarian Propinsi Sumatera Barat 1994  
22. Land Use Survey in Pasaman District, West Sumatera Anggota West Pasaman Area Development Project, GTZ 1993  
Posted by: yonariza | June 19, 2019

Daftar Publikasi

NO. JUDUL ARTIKEL/

JUDUL BAB

NAMA JURNAL/

JUDUL BUKU

Tahun
Land Use Changes in Dharmasraya District, West Sumatra, Indonesia Pertanika J. Trop. Agric. Sc. 41 (3): 1111 – 1124 (2018) 2018
2. What Is The Minimum Rubber Price to Stop Farmers Converting Old Growth Forest Into Shifting Cultivation? A Case Study From Pasaman District, West Sumatra Province, Indonesia Malaysian Journal of Applied Biology (MAB)

December 2017 Issue, Vol. 46(4).

2017
3. Forest Ownership Conflict between a Local Community and the State: A Case study in Dharmasraya, Indonesia Journal of Tropical Forest Science (JTFS) (29) 2 2017
4. Gender Inequality and the Oppression of Women within Minangkabau Matrilineal Society: Case Study of the management of Ulayat forest land in Nagari Bonjol, Dharmasraya District, West Sumatra Province, Indonesia Asian Women

Autumn 2016, Vol. 32, No. 3, pp.

 

2016
5. Collective Action through Synergy Local Institutions to Protect Agricultural Market European Journal of Social Sciences 2015
6. Impact of Flash Floods on a Matrilineal Society in West Sumatra, Indonesia Environment, Security, Development and Peace (ESDP) Vol. 21 2015
7. Characteristics of Forest Management Policy in West Sumatra, Indonesia. Multi-level Forest Governance in Asia: Concepts, Challenges and The Way Forward. 2015
8. The Rights of Indigenous Peole and Environmental Governance in Peninsular Malaysia. Living Landscape Connected Communities, Culture, Environment, and Change accross Asia 2014
9. Is there a Need for Legal Pluralism Movement in Malaysia? A Case of Jakun People and Their Right Over Natural Resources in Tasik Chini, Pahang State Legal Pluralism in Natural Resource Management, South and Southeast Asian Perspectives 2012
10. Southeast Asia Land and Resource Tenure Revisited (Indonesia, Philippines, and Thailand) Manila: Southeast Asian Study Regional Exchange Program (SEASREP) Foundation /2005 Prosiding SEASREP’s 10th Anniversary Conference: “Southeast Asia, A Global Crossroads.” 8-9 December 2005 2005  
11. Community Forestry Movement in Thailand and Lesson for Indonesia  Prosiding  Commission on Folk And Legal Pluralism, Canada Congress 2004 “Law, Plural

Society and Social Cohesion”,

University Of New Brunswick, Fredericton, N.B., Canada/ August 26-29, 2004, 2004  
12. People, Natural Resources, and Poverty in Sumatra, Implication for Research and Curriculum, Prosiding International Seminar on Integrated Natural Resources Management with Special Reference to Sumatra and Workshop for Master’s Degree Curriculum Development Graduate Program and Center for Irrigation, Land and Water Resources and Development Studies of Andalas University, Padang 26 – 27 January 2004. 2004  
13. The Implementation of Donor-Driven Irrigation Management Decentralization Projects: Some Observations In West Sumatra Province, Indonesia

Dimuat dalam Digital Library of the commons

http://dlc.dlib.indiana.edu/archive/00001168/

Indiana University, Workshop on Political Economy, 2003 2003  
14. Southeast Asia Land Tenure in Transition: Implication for Customary Laws  Cases from Indonesia, Philippines, and Thailand

Dalam  R. Pradhan, (ed.) Legal Pluralism and Unofficial Law in Social, Economic and Political Development. Vol. 1.

Kathmandu: ICNEC. 2003. 2003  
15. Transition in Southeast Asia Land Tenure at Turn of 20th Century.  Monograph Padang: Center For Irrigation, Land and Water Resources And Development Studies, Andalas University, 2001 2001  

Ahad, 9 September 2018

PROPOSAL

  1. LATAR BELAKANG

Warga Kenagarian Panampuang Kecamatan Ampek Angkek Kab. Agam yang merantau ke Kota Padang Ibu Kota Propinsi Sumatra Barat beserta keluarga mereka berhimpun dalam Ikatan Keluarga Panampuang Padang (IKPP). Anggota IKPP tersebar  saat ini tersebar hampir di seluruh kecamatan yang ada. Sebagian sudah terdata dan sudah saling berkomunikasi dan sebagian lainnya masih belum terdata. Pada mulanya, para perantau Panampuang di Padang untuk berdagang. Lama kelamaan, tujuan ini bervariasi, mulai dari menuntut ilmu di perguruan tinggi, bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan lain sebagainya, sehingga silaturahmi yang sebagian sudah terjalin ketika di kampung halaman menjadi kurang terbina karena berbagai kesibukan di rantau.

Terjalinnya silaturahmi yang baik dalam hidup bermasyarakat akan mendatangkan kebahagiaan bagi semua orang, tak terkecuali bagi warga Kenagarian Panampuang yang merantau untuk mencari nafkah dan menuntut ilmu di Kota Padang. Agama Islam sebagai filosofi hidup orang Minangkabau yang bersendikan syarak juga mengajarkan untuk menjaga silaturahmi ini. Di samping memberikan manfaat dalam kehidupan sosial, jalinan silaturahmi yang terpelihara dengan baik akan mendatangkan manfaat bagi kesehatan lahir dan bathin.

Beberapa tahun belakangan, sudah ada upaya menjalin silaturahmi ini dilakukan oleh urang tuo-tuo Panampuang di Padang, baik dengan mengadakan arisan, maupun dengan saling mengunjungi. Bahkan bulan September 2016 lalu kembali diadakan pertemuan berskala lebih besar. Petemuan itu melahirkan kembali kepengurusan IKPP Periode 2016-2019. Pada Tahun 2017, IKPP kembali melaksanakan pertemuan silaturrahmi. Salah satu kesepakatan pada  pertemuan silaturrahmi itu adalah agar diadakan pertemuan keluarga sekurang-kurangnya sekali setahun.  Oleh karena itu, pada tahun 2018 ini kembali digagas silaturrahmi IKPP untuk memperkuat ikatan jalinan kekeluargaan yang sedang dirawat sambal menyambut Tahun Baru Hijriah 1440.

  1. WAKTU DAN TEMPAT

Halal Bi Halal (HBH) dan Silaturahmi IKPP ini rencananya akan dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal                :    Ahad, 9 September 2018

Waktu                            :    Pukul 09.00 WIB s/d selesai

Tempat                        :    Aula Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Padang, Kampus UNP, Jln. Hamka, Air Tawar, Padang.

  1. PANITIA PELAKSANA

Penanggung Jawab                      : Yonariza

Ketua Pelaksana                          : Meri Saputra

Sekretaris                                     : Taufik Syamsa

Bendahara                                   : Yulsofren

Seksi Acara:

Koordinator                                  : Hartomo Sutia Betha

Anggota                                       : 1 Defi Marwan

  1.                                   Doni
  2.                                  Yelni

Seksi Konsumsi

Koordinator                                  : Zulnita

Anggota                                       : 1 Juita Sudi Hati

  1.                                   ………………………………………….

Seksi Perlengkapan

Koordinator                                  : Zulnedi

Anggota                                       : 1. Yahya Rahman

                                  Doni Firman

Seksi Pendanaan

Koordinator                                  : Junaidi

Anggota                                       : 1. An Guchi

                        Ihsandi

  1.                                        Hanafi Mahmud
  1. BIAYA

Adapun biaya yang diperlukan untuk melaksanakan acara ini adalah sebagai berikut :

  1. SEKRETARIAT
  • Perbanyak dan Jilid Proposal 20 buah @5.000,- 100.000,-
  • Pembuatan stempel 1 buah 35.000,-
  • Pencetakan kupon doorprize 100.000,-
  • Pembelian Kertas HVS dan Alat Tulis 150.000,-

JUMLAH                                                                                                 Rp. 385.000,-

  1. PERLENGKAPAN
  • Sewa Gedung 2.500.000,-
  • Sound System 2.000.000,-

JUMLAH                                                                                                  Rp. 4.500.000,-

  1. ACARA
  • Biaya Rapat Persiapan 1.000.000,-
  • Honor Qari/Qariah 300.000,-
  • Honor Ustadz 300.000,-
  • Hadiah 10.000.000,-
  • Hiburan                                                                                            2.000.000,-

JUMLAH                                                                                        Rp. 13.600.000,-

  1. KONSUMSI
  • Snack Kotak @10.000,- x 100 Orang 1.000.000,-
  • Nasi bungkus @ 20.000,- x 100 orang 2.000.000,-
  • Kopi & Tek Manis @20.000,- x 4 Teko 80.000,-

JUMLAH                                                                                             Rp. 3.080.000,-

  1. HUMAS DAN DOKUMENTASI 1.000.000,-
  2. BIAYA TAK TERDUGA 5.000.000,-

TOTAL BIAYA:                                                                                     Rp. 27.565.000,-

 

  1. SUSUNAN ACARA
  • Pembacaan ayat suci Alquran
  • Laporan Ketua Panitia
  • Sambutan Ketua IKPP
  • Sambutan Wali Nagari
  • Tauziah menyambut Tahun Baru 1 Muharram 1440 H
  • Ramah Tamah
  • Makan bersama
  • Paparan Program Kerja dan Pembahasan Susunan Pengurus IKPP
  • Acara bebas
  1. TEMA ACARA

Dengan Momentum Tahun Baru 1440 Hijriah, IKPP memperkuat silaturrahmi Mengayunkan Langkah Membangun Ukhuwah Islamiyah

  1. PENUTUP

Demikianlah proposal ini dibuat, agar dapat digunakan seperlunya.

Padang 9 Agustus 2018

Panitia Sillaturrahmi

Pengurus IKPP 2016-2019

 

Posted by: yonariza | April 10, 2016

Rubber Price Down, Forest Clearing Up

In last five years, rubber price jumps down to 20% level as compared to 2011 price. Meanwhile, rubber is mainly cultivated by smallholders, their number is about 2.1 M whose livelihood depend on rubber. Smallholder rubber plantation constitutes 85% total rubber cultivation area in Indonesia. They contribute significantly to foreign exchange.  As a consequence, current rubber price falling hit rubber farmer hardly. Some emerging questions then how the small farmers cope with price shock. What are the implications of farmer’s response to the falling price with regards to natural resources utilization, what are the economic and environmental consequences of their responses?

please find more rubber price down forest clearing up

yon1

Reflection, experiences, and lesson learned from attending Asia Pacific Sociological Association Conference (APSA), Chiangmai, 15-16 February 2014

I took notes from Dr. Chayan Vaddhanaphuti, PhD, Chairperson of Conference Academic Committee in his remark during opening ceremony that there were 364  participants from 18 countries that are distributed into  45 English Panel and 14 Thai panels. Although view Indonesian participants failed to take off due to volcanoes eruption in Java, the conference went well as planned. Congratulation to the organizer for a successful event!

Being a member of API sponsored panel, I will take this opportunity to share reflection, our group’s experience during the conference, and lesson learnt from the conference.

But, firstly let me share my own experience being a sociologist attending some international sociologist gatherings as a basis for comparison. The first sociologist gathering I attended was the XIV International Sociological Association (ISA) World Congress in Montreal, Canada in 1998, two years after completing my MS Degree in Social Development Study, Ateneo de Manila University. The congress was well attended by more than 2000 participants, which was not well represented regionally, since more participant came from rich countries. From Asia, Japan was among significant number of participants. Of course money was a matter, I was lucky to be the Ford Foundation grantee that get support for my travel to Canada that took me a half globe traveling starting from Padang, Sumatra to Jakarta, Singapore, Tokyo, Los Angles, Chicago, then to Montreal.  To my surprise, I had only a 5 minutes presentation in the conference!

            What surprised me more was how huge field of sociology was and is. There were 50 Research Committees; each was with distinct area in sociology, i.e economy and society, sociology of education, sociology of aging, sociology of youth, etc. There were 5 working groups, i.e.; sociocybernetics and social system theory, famine and society, etc. There were still 4 thematic groups, i.e.  Sociology of local-global relations, national movement and imperialism, etc. There were also 17 ad hoc, i.e regional area, ethnicity and national state, etc. These all show that sociology presents in all field of social life and it is being used by several other professional such as medical doctor, engineer, military, development planners, and various kind of social sciences, law, political science, historian, economist, environmentalist, etc. I also enjoyed ad hoc of theory in sociology as well as research committee on logic and methodology in Sociology.

At the end, a commentator, seem to be a participant from less developed countries wrote his reflection about the ISA world congress by saying the congress was  for the west celebrating themselves! Simply because sociologist from under developed countries not only less represented but also they were minority in terms of sociological invention.

I was then absent for a long time from sociological association gathering particularly since I engage in one specific issue of  sociology, that is collective action as I join International Association of study of the commons (IASC, formerly IASCP International Association of the study of the commons Property), the organization invented by a Nobel Laureate  institutional economist the late Elinor Ostrom. This is a specific topic that interest a lot of scholars and widely used in resources management approach. I attended the Asia Regional IASCP conference held in Chiangmai 2003, IASCP Global Conference in Bali 2006, IASCP Global Conference  Cheltenham, England 2008, IASC Global Conference Fujiyama Japan 2013.

I only back to APSA during APSA XI conference held in Manila 2012 and this APSA Conference 2014. My comeback was also mainly because I engage in researching and teaching of sociology, despite travel grant offer.  The APSA Manila Conference was very much dominated by applied socio anthro disciplines.

Let’s go back to my intention here, sharing group experience, reflection, and lesson learned during the XII APSA Conference held in Chiangmai, Thailand.

I would like to reflect APSA 2014 Chiangmai conference as “From Sociology to Regional Study, Southeast Asian study in particular, an interdisciplinary social science gathering.”

APSA conference turned to be Asian studies conference or more specifically Southeast Asian study conference because those presented in the conference come all over the globe especially those who are expert in this regional study coming from different part of the world and presenting paper on several social science topic such as politic, economy, history, etc., all about Southeast Asia. They may not be APSA members and may not eligible for APSA membership since they reside in non ASIAN countries, these may not an issue but it rather blurs between APSA conferences with regional multidisciplinary study conference.

Nevertheles, level of participation in APSA Conference inclined. During the 2012 Manila APSA Conference, there were 176 paper abstracts submitted including those from Philippines. While at 12th Chiangmai APSA Conference, there were 228 English abstract and 50 Thais abstract gives a total of 278 abstract. Chiangmai APSA conference received more abstract and participant despite of political turmoil that affect Bangkok. Chiangmai is 800 kms away from Bangkok, so it was not affected by political turmoil. Nevertheless, the last two APSA events, since they were held in Southeast Asia, the participant mostly coming from the SEA region. It lacks East, South, and West Asia representation, event an Indian invited speaker could not make a trip to Chiangmai. It was less participation from Japan, which was so much different from ISA World Conference. It can be said the last two APSA conferences was Southeast Asia sociologist celebrate themselves.

As Asia is going through transformation, interdisciplinary approach within social science and guided by sociology is a way to understand the consequence and impact of the transformation. APSA participants have variety of social science background and using interdisciplinary social science and API community is a home of those interdisciplinary.

            As it appears to become Southeast Asian scholar gathering, where API Community members mainly reside, ASEAN Community is an interesting topic. There were four panels related to this topic, such as; Regional integration in Southeast Asia viewed from the grassroots. A presentation of the SEATIDE Project; Sociopolitical and economic implication of ASEAN Economic Community 2015 and the roles of Asian Public Intellectuals (API); ASEAN Integration through People’s Participation: Voices from Below (roundtable); and ASEAN Community, Democracy and Values. These reflect how sociology sees transformation in Southeast Asia will be a significant one although in one discussion, a presenter mentions that ASEAN Organization produces so many documents but they are less implemented. Nevertheless, next coming ASEAN economic community may play significant role in transforming the region. By setting up ASEAN as single market and production base by 2015 where flows of good, skilled labor, and capital are going to be free among countries in Southeast Asia, one would see cooperation and competition among countries in the region. API fellows may play role in the process especially in helping the poor in market economy.

The conference was not only well attended but also well organized by attentive people and supported by a representative logistic particularly conference room. In my experience of attending this kind of  scientific gatherings, main obstacle was to find room for parallel session as the room may scatter in different buildings far apart from each other and a short time break in between session, it causes a chaos sometime where participant fails to reach a panel of his/her interest. This did not happened during Chiangmai APSA conference since the plenary session and parallel session were held in the same building. In addition, being a muslim, our particular need was well facilitated by organizer by setting up Muslim prayer room in conference venue although we had to have our wudhu’ in the nearby toilet. The Halal and tasty Muslim food was also serve during lunch time.

This is a well-organized conference as admitted by many participants, one of them, Dr. Reinhard Hohler wrote in his blog.

http://www.eglobaltravelmedia.com.au/well-organized-apsa-conference-took-place-in-chiang-mai/comment-page-1/#comment-68734

Lastly, let me share our group experience during the conference. I would say, API Community building can be enhanced by developing solidarity among members where they are willing to share benefit and cost and must live economically.

It is sad to say that API Panel at 2014 Chiangmai APSA Conference consisted of only Indonesian fellows, three API fellows and 1 non API fellow. The same might also happened during previous  API sponsored panel. This may show in part a great variety of interest among fellows, of course only those who are really interested and with relevant background to join and set up a panel would participate. At the end, grant competition among fellow is low.

With the spirit of API fellow solidarity, Indonesian API fellow in the panel share API grant with 5 or 6 participants, the grant was supposed only to support three participants. How could it be? They use air fare allocation to support most expensive three participants considering the distance, and they use pocket money of the three to support air fare for another two participants. So, how they cover accommodation, local transport and food? They still have small remaining money to cover cheap accommodation (500 THB or USD 15 per night) by sharing room at a guest house in Chiangmai downtown. Each of them also shares the remaining cost, such as registration fee and food. API fellowship could cover air fare for 5 people and accommodation for six people, additional one non API fellow from Andalas University, Padang, West Sumatra, Indonesia. The API money was used most economically only with spirit of solidarity and willingness to share the benefit and cost.  Why they were willing to share the cost? It is their secret. But, would it happen should the panel members come from different socioeconomic background? Yes, if they share the spirit of API community.

Attending conference can be economically cheap that funding agencies did not have to dig a lot of money. ASIA must thank to low cost carriers that connect the continent in a most affordable way despite the API fellows are not so demanding with regards to accommodation. APSA 2014 conference proves that accommodation provided for only three people, in fact accommodate 6 people. It still accommodate extra two tickets for participants.  How efficient it is.

What lesson learned?

This is very opportune for us to attend such academic gathering. Listening to several presentation, on my part I am interested in listening to agrarian transformation in Southeast Asia, methodology of sociology, and ASEAN economic community. Asia is in transformation, API community may play significance role in the process.

 

Posted by: yonariza | January 24, 2014

DOKTER HUMANIS DAN DOKTER MATERIALISTIS

Sekali dalam hidup kita, kita mungkin akan memerlukan jasa dokter. Kita harus berhati hati sekali ketika akan menggunakan jasa dokter, karena dokter itu adalah juga manusia biasa seperti kita. Makanya adegium, second opinion menjadi kamus umum dalam hal pemanfaatan jasa dokter. Di rumah sakit saja, para dokter itu berdikusi dulu dengan teman sejawat sebelum menyimpulkan hasil diagnosa pasien.

Dalam kesempitan waktu ini (karena memang ndak pernah pintar mengatur waktu) saya mencoba menulis pengalaman seminggu ini berhubungan dengan dokter.  Kesimpulan sementara ada dokter yang humanis dan dokter materialis. Dokter humanis adalah dokter yang sangat memperhatikan perasaan dan logika ketika melayani pasien, dokter materilistis adalah dokter yang melihat peluang materi dari penderitaan pasien. Namun demikian, sebagai manusia biasa, masing masing dokter tentu memiliki sifat itu, humanis dan materialistis, dalam kadar yang berbeda beda. Maka berdasarkan kombinasi humanis dan materialis akan menghasilkan empat kategori dokter; dokter rendah humanis dan rendah materilistis, dokter rendah humanis tinggi materilistis, dokter tinggi humanis dan rendah materilistis, dan dokter tinggi humanis dan tinggi materilistis.  Kategori ini mungkin terlalu  sederhana, tapi akan lebih mudah mengurainya.  Ceritanya begini.

Anak saya yang berusia 20 tahun mengeluh sakit gigi dan sakit kepala berbarengan yang sudah berlangsung beberapa waktu. Dia sudah coba periksa di rumah sakit kampus, kesimpulannya dia mengalami impaksi, geraham bungsunya tumbuh abnormal, miring sehingga menekan geraham di depannya. Geraham itu sendiri belum keluar masih berselimut di bawah gusi. Rekomendasi dokter gigi, OPERASI,  dengan mencabut geraham bungsu itu.  Ini setelah melihat hasil ronzen panoramic gigi anak saya.

Kebetulan anak saya kuliah di kota lain dan sebagai PNS kami berfikir bagaimana agar operasi itu dibiayai oleh asuransi kesehatan yang kami punyai dan bagaimana agar biaya biaya lainnya lebih enteng. Misal kalau dia operasi di kota tempat dia kuliah, salah seorang kami orang tuanya harus kesana mendampingi. Maka kami putuskan menyuruh anak pulang dan operasi akan dilakukan di kota tempat kami. Kamipun aktif cari informasi tentang dokter yang handal untuk melakukan operasi itu dan mesti pula harus bisa menggunakan  asuransi kesehatan yang ada untuk biayanya.  Anakpun mencari informasi pula dari teman temannya yang kuliah di FKG.

Kami dapat nama dokter handal dan spesialis bedah mulut. Kami kosultasikan kepada dokter itu, jawabannya sangat mencengangkan TIDAK PERLU OPERASI! Kami senang saja mendengarnya, tapi anak kami terus mengeluh sakit kepala dan sudah lama minum obat penghilang rasa sakit, minum obat jenis inipun menimbulkan kecemasan kami, jangan jangan kalau dimium berketerusan menimbulkan efek samping yang kami duga duga saja. Dokter menyarankan untuk meneruskan minum obat pemenang itu mungkin sampai 6 bulan sampai akhirnya geraham bungsu itu keluar. Beliau mengatakan mindset saja menghubungkan hubungkan sakit kepala dengan sakit gigi. Jangan lah terlalu menghubungkan kedunya, coba juga periksa mata, kata dokter itu. Sayangnya cara dokter itu menjelaskan kurang memuaskan kami, dokter ini kurang humanis. Beliau malah terkesan merendahkan diagnosa dokter gigi sebelumnya.  Namun demikian,  beliau tidak pula berusaha mencari keuntungan di atas penderitaan kami. Dokter ini kurang materialistis, beliau hanya minta jasa konsultasi saja sesuai tarif. Selanjutnya disebut Dokter 1.

Tidak terlalu puas dengan penjelasan dokter itu yang tampak seolah olah mengentengkan keluhan anak, mengaitkan sakit kepala dengan hal hal lain,  kami pun mencari dokter lain, teman temanpun merekomendasikan nama lain. Kami konsultasi lagi kepada Dokter 2, jawabannya HARUS OPERASI, kebetulan dia memang buka praktek dan melakukan operasi sendiri, sayangnya biaya operasi ndak bisa dibayar dengan  asuransi kesehatan kami, jadi harus tunai! Dokter itu bilang tidak ada jalan lain. Dia pun mematok harga dan menawarkan servis tambahan. Pikiran saya berkata lain, dokter ini jelas sekali nuansa jualannya. Kami bilang, akan pikir pikir dulu. Kami sebenarnya sudah menerima keputusan operasi, cuma kami ingin memanfaatkan asuransi yang ada.  Dokter 2 ini sangat materialis dan kurang humanis.

Usaha berikutnya kami mendaftarkan anak ke rumah sakit pemerintah dan konsultasi lanjutan dengan dokter di sana. Menurut dokter RS, anak saya akan ditangani nanti oleh dokter spesialis bedah mulut yang tidak lain adalah Dokter 1, satu-satunya spesialis bedah mulut di kota ini. Kami bingung juga, bagaimana akan menghadapi dokter itu lagi. Menjelang hari akan bertemu dengan Dokter 1, kami coba pula membawa anak ke sebuah RS swasta yang melayani pasien dengan asuransi kesehatan yang kami miliki. Jawabannya bahwa nanti yang akan menangani adalah Dokter 1 lagi. Aduh mak, mungkin kami akan mambana OPERASI JUO LAH ANAK KAMI pak.

Kami diskusikan terus persoalan anak kami kepada teman teman, muncul lagi nama dokter lain, beliau ini dipandang sebagai dokter gigi brilliant, lulus dengan predikat dengan pujian. Kamipun konsultasi lagi. Jawaban beliau TIDAK PERLU OPERASI. Cara beliau menjelaskan tidak perlu operasi membuat anak saya tenang, beliau mengatakan kalau menghubungkan sakit kepala dan sakit gigi itu adalah MIND SET saja, beliau mendorong anak saya untuk mencoba tidak menghubungkan keduanya, dan minum obat penghilang rasa sakit tidak apa, sepanjang diminum setelah makan. Beliau menyarankan kepada anak saya untuk tidak selalu memikirkan kaitan sakit kepala dan sakit gigi. Lebih meyakinkan lagi beliau bilang, masih ada ruang di rahang anak kami untuk geraham bungsu itu. Tunggu saja sampai geraham itu tumbuh. Dalam usia anak kami sekarang adalah masa masa tumbuhnya geraham bungsu. Dokter juga menyarankan anak untuk melatih gerahamnya dengan banyak mengunyah seperti makan tebu, atau makan permenkaret 2 kali sehari, selama 15 menit pagi dan 15 menit sore. Anak anak sekarang kata dokter itu kurang banyak mengunyah makanan seperti tebu itu sehingga rahangnya tidak cukup kuat. Orang dulu makan tebu, anak sekarang hanya minum air tebunya. Cara dokter ini memberikan sugesti sangat menenangkan kami dan membuat anak kami ceria, anak seolah mengiyakan pendapat dokter dan setuju untuk melawan penyakitnya. Selesai konsultasi kami tanya biayanya, jawabannya sangat mengejutkan.  NDAK USAH BAYAR. Aduh mak, betapa baiknya dokter ini. Dia humanis dan tidak materialistis!

Jadi dari empat kategori di atas; kami menemukan tiga diantara kategori itu; seperti dalam tabel dibawah ini.

 

Materialistis

Humanis
  • Rendah 
  •  Tinggi 
  • Rendah

Dokter 1

Dokter 2

  • Tinggi

Dokter 3

Ndak sempat ketemu

 

Semoga anak kami berhasil melawan rasa sakitnya.

Pelajaran;

Kalau anda berkonsultasi dengan dokter tidak cukup hanya sampai second opinion, lanjutkan ke third opinion, bahkan fourth opinion dan seterusnya. Ini mutlak!

Dari empat kategori di atas, kategori mana saja yang dapat anda terima? 

 

 

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER

(RPKPS)

Hukum Adat dan Pertanahan

PAB414

 

 

 

 

 

 

Disusun Oleh:

TIM PENGAJAR HUKUM ADAT DAN PERTANAHAN

BKI PENGEMBANGAN WILAYAH PEDESAAN DAN KAWASAN AGRIBISNIS  (PWDA)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN, UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG 2012

 


 

A.     Deskripsi SingkatHukum Adat adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa prodi Agribisnis berbobot 3 sks. Materi kuliah mencakup konsepsi hukum adat, pluralisme hukum, kaitan hukum adat dan pertanahan, serta hukum pertanahan Negara yang berlaku di Indonesia.

B.      Outcome Mata KuliahHasilnya diharapkan memberikan kepekaan dan kerangka analisa kepada mahasiswa sekaitan dengan aturan adat dan hukum nasional tentang pertanahan dan hubungannya  dengan pengembangan agribisnis.

 

C.      Kompetensi Dasar          Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan konsepsi hukum adat dan hukum pertanahan dikaitkan dengan pembangunan agribisnis.

 

D.      JUMLAH JAM DAN PEMBAGIANNYAMatakuliah  Hukum Adat direncanakan 16 kali pertemuan, 14 tata muka di kelas, ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS), serta 12 kali pertemuan praktikum/asistensi. Pertemuan tatap muka akan dimulai dengan sosialisasi kontrak belajar dengan mahasiswa untuk menyepakati  aturan pelaksanaan kuliah, monitoring dan evaluasi pembelajaran; kedisiplinan; dan proses belajar mengajar yang akan dilakukan termasuk materi yang akan diberikan, metode yang akan digunakan dan bentuk tugas yang akan diberikan. Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengajukan usulan/memberikan masukan ataupun komentar terhadap rencana yang sudah disiapkan dosen. Ujungnya adalah terbangunnya kesepakatan dosen dan mahasiswa.

Tabel 1. Jumlah Jam dan Pembagian Kuliah Hukum Adat dan Pertanahan

No.

Jenis Program

Jumlah Program

Jumlah jam

Keterangan

1 Tatap muka di kelas (kuliah, diskusi, presentasi)   14 kali

28 JPL

Interaksi dosen-mahasiwa dalam membahas materi pembelajaran, baik bersumber dari dosen, pustaka, hasil eksplorasi mahasiswa, dan tugas ter-struktur.
2 Praktikum/Asistensi 12 kali 24 JPL Interaksi dosen/asisten-mahasiswa memperdalam materi dan pemecahan tugas/kasus
2 Tugas terstruktur   14 kali

28 jam

Dosen memberikan tugas yang berkaitan dengan materi yang baru dibahas dalam tatap muka.
3 Eksplorasi mandiri

Mahasiswa

  14 kali

28 jam

Mahasiswa diberi kebebasan memperoleh materi pembelajaran dari ber-bagai sumber yang berkaitan atau mendukung materi pembelajaran.

 

Jadwal Kegiatan Mingguan

Minggu MATERI PEMBELAJARAN
 I Ruang lingkup perkuliahan hukum adat
 II Konsep Hukum Adat
 III Pembidangan Hukum Adat
 IV Pluralisme Hukum
 V Hak ulayat dan hukum adat;
 VI Beberapa konsep agraria, hak ulayat, dan milik adat
 VII Hukum Adat dan Sistem Bagi Hasil
 VIII Hak Milik, Hak Ulayat, dan Konversi Hak
 IX Model Penguasaan Tanah di Minangkabau
 X Hukum Tanah dan Waris
 XI Hak Tanah terpenting  menurut UUPA
 XII UUPA

(Kebijakan Pertanahan Sebelum Orde Baru di Indonesia)

 XIII Konsolidasi Tanah
 XIV Desentralisasi dan pengelolaan sumberdaya agraria: Konsep, norma dan praktik

 

E.       PraktikumAkan ditentukan oleh masing masing dosen.

Yonariza akan melakanakan praktikum lapangan.

F.       EvaluasiMata kuliah ini lebih menekankan pada proses belajar sehingga mahasiswa diharapkan dapat terlibat aktif dalam setiap temu kelas. Bobot nilai secara proporsional terbagi dalam beberapa komponen sebagai berikut:

Komponen Nilai

Bobot

Presentasi Kelompok

30 %

Tugas Kelompok

20 %

Praktikum

20%

Ujian Tengah Semester

15 %

Ujian Akhir Semester

15 %

Total

100 %

 

Konversi Penilaian adalah Sebagai berikut :

SKOR

NILAI

SKOR

NILAI

SKOR

NILAI

85-100 A 80-84 A –  
75-79 B + 70-74 B 65-69 B –
60-64 C + 50-59 C  
40-49 D  
0-39 E  

 

 Untuk mendapatkan nilai utuh :

  1. Mahasiswa harus memenuhi semua komponen penilaian
  2. Menyelesaikan tugas presentasi dan paper individu sesuai dengan topic yang telah di tentukan

Bahan Bacaan

Azam, Syaiful. 2003. Eksistensi Hukum Tanah Dalam Mewujudkan Tertib Hukum Agraria. Medan: Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara

Kurnia Warman, 2006. Ganggam Bauntuak menjadi Hak Milik, Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat. Padang, Andalas University Press.

Kurnia Warman, 2010. Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk, Dinamika interaksi hukum adat dan hokum Negara di Sumatera Barat. Jakarta: HuMA, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV-Jakarta.

Kurniawan, J.A. 2008. Hukum Adat dan Problematika Hukum Indonesia. Yuridika” FH Unair, Volume 23, No. 1 Januari-April 2008

Naim, Mochtar. 1968. Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Study Press.

Ragawino, Bewa. N.d. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Ruchiyat, Eddy. 1999. Politik Pertanahan Nasional  Sampai Order Reformasi. Bandung. Penerbit Alumni.

Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sembiring, Rosnidar, 2003. Kedudukan Hukum Adat Dalam Era Reformasi Bagian Hukum. Medan: Keperdataan Fakultas Hukum. Universitas Sumatera Utara

Setiawan, Yudhi. 2009. Instrumen Hukum Campuran dalam Konsolidasi Tanah. Jakarta: PT Raja Grafika Persada.

Sirait, Martua; Fay, Chip dan Kusworo, A. 2000. Bagaimana Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur.  Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 24. ICRAF Southeast Asia.

Soegianto, Djoko. 1980. Penelitian Humum Adat Tentang Warisa di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Padang. Jakarta: Mahkamah Agung. Proyek Penelitian Hukum Adat.

Suwitra, I. Made. 1999. Pengakuan.dan Perlindungan Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Ulayat, Perspektif Pluralisme Hukum: Hukum Negarta vs. Hukum Adat. Kertha Wicaksana 15 (2);  110-113.

Von Benda-Beckmann, Keebet. 2005. Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis. Dalam Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisiplin, Tim Huma (Ed). Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma), hal 21-53.

Yonariza; Kitiarsa, P.; Fianza, Myrthena,  2000. Southeast Asia Land and Resources Tenure; Indonesia, Philippines and Thailand. An Annotated Bibliography. Padang: Center for Irrigation, Land and Water Resources and Development Studies, Andalas University.

 Strategi Perkuliahan 

MINGGU  KE KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN (KOMPETENSI) BAHAN KAJIAN Sub Pokok Bahasan Referensi BENTUK PEMBELA JARAN
Mahasiswa memahami ruang lingkup perkuliahan dan pengertian hukum adat, Ruang lingkup perkuliahan hukum adat Kontrak belajar

Penggertian Hukum Adat

RPKPS

Syamsudin 1998, Bagian 1

Ceramah dan Diskusi
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan Sifat-Sifat Umum Hukum Adat Indonesia Sifat-Sifat Umum Hukum Adat Indonesia
  • Corak-Corak Hukum Adat Indonesia
  • Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
  • Sumber-Sumber Hukum Adat
  • Sembiring, 2003.
  • Ragawino, n.d
Diskusi kelas dan ceramah
    III. Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan pembidangan hukum adat Pembidangan Hukum Adat
  • Sistem hukum Adat
  • Tipologi Hukum Adat
  • Hukum Publik dan Hukum Private
  • Azas Pemilikan dan Hukum Positif
Syamsudin 1998, Bagian 1; Ragawino Bab 2; Diskusi kelas dan ceramah
   IV. Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan tentang pluralism hukum dan implikasinya terhadap hukum pertanahan di Indonesia Pluralisme Hukum Agraria
  • Pluralisme hukum
  • Pluralisme hukum dan pembangunan hukum agraria  nasional
  • Kurnia Warman, 2010, Bab IV
  • Suwitra, I. Made. 1999.
  • Benda-Beckmann, 2005.
Diskusi kelas dan ceramah
    V. Mahasiswa mampu menjelaskan hak ulayat dan hukum adat Hak ulayat dan hukum adat;

 

–     Pengakuan hak ulayat dan peraturan perundang-undangan

–     Pengingkaran hak ulayat dalam peraturan perundang-undangan

–        Bakri, 2007 Bab III.1, III.2, dan III.3

–        Sirait, Fay, dan Kusworo, 2000

Diskusi kelas dan ceramah
   VI. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep agrarian, hak ulayat dan milik adat Beberapa konsep agraria, hak ulayat, dan milik adat
  • Sumberdaya  agraria dan hukum agraria
  • Hak ulayat
  • Tanah milik adat
Azam,   2003 Bab III, IV.

 

Diskusi kelas dan ceramah
  VII. Mahasis memhami dan mampu menjelaskan system bagi hasil Hukum Adat dan Sistem Bagi Hasil
  • Pengertian bagi hasil
  • Tempat dan Kedudukan Bagi Hasil
  • Bagi Hasil dan Bagi Usaha
  • Bagi Hasil di Minangkabau dan Jawa dan Madura
Scheltema, (1985) Bab I dan II

 

Diskusi kelas dan ceramah
 VIII. Mahasiswa memahami dan menjelaskan konversi hak milik Hak Milik, Hak Ulayat, dan Konversi Hak
  • Konsep Hak Milik Bersama dan Hak Milik Pribadi
  • Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia
Warman, 2006, Bab II Diskusi kelas dan ceramah
   IX. Mahasiswa mampu menjelaskan berbagai model penguasaaan tanah di Minangkabau Model Penguasaan Tanah di Minangkabau
  • Hal Ulayat di Minangkabau
  • Hak perorangan dan hak ulayat
  • Hak perorangan di Minangkabau
Warman (2006) Bab II B Diskusi kelas dan ceramah, studi kasus
    X. Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan hokum tanah dan waris Hukum Tanah dan Waris
  • Sistem perkawinan
  • Hukum adat waris
  • Perbedaan Hukum Adat waris dan Islam
  • Sistem pewarisan hukum adat
Naim (1968) Diskusi kelas dan ceramah
   XI. Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan pembangunan Hukum Adat dan Agraria Pembangunan Hukum Adat dan Agraria Unifikasi hukum Agraria Kurniawan, J.A. 2008.

 

Diskusi kelas dan ceramah
  XII. Mahasiswa mampu membedakan berbagai hak tanah menurut UUPA dan hubungannya dengan agribisnis Hak Tanah terpenting  menurut UUPA –          Hak Milik

–          Ha Guna Usaha

–          Hak Guna Bangunan

Ruchiyat (1999) Bab VI Diskusi kelas dan ceramah dan studi kasus
 XIII. Mehasiswa memahami dan mampu menjelaskan eksistensi undang undang pertanahan nasional UUPA

(Kebijakan Pertanahan Sebelum Orde Baru di Indonesia)

–          Pelaksanaan UUPA

–          Permaalahan bidang pertanahan

Ruchiyat (1999) Bab X

 

Diskusi kelas dan ceramah
XIV Mahasiswa memahami arti penting konsolidasi tanah Konsolidasi Tanah –          Keteraturan hukum public dalam konsolidasi tanah

–          Wewenang mengatur

–          Tindakan konkret

Setiawan (2009) Bab 2 Diskusi kelas dan ceramah dan studi kasus
 XV. Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan kondisi hukum pertanahan  di era desentralisasi di Indonesia Desentralisasi dan pengelolaan sumberdaya agraria: Konsep, norma dan praktik
  • Desentralisasi pengelolaan sumbrdaya agraria
  • Hukum Agraria adat di Sumatera Barat
  • Pengaturan sumberdaya agraria di Nagari
Kurnia Warman, 2010, Bab VI, VII, dan X Diskusi kelas dan ceramah dan studi kasus

 

Hutan adalah bagian integral dalam kehidupan manusia. Keberadaan hutan mempengaruhi kualitas hidup tidak saja secara secara lokal dimana hutan itu berada tapi lebih luas daripada itu, keberadaan hutan mempengaruhi kehidupan global.  Oleh sebab itu, keberlanjutan sumberdaya hutan menjadi kepedulian semua pihak dan kepedulian itu akan terus meningkat di masa-masa mendatang. Secara spesifik, pertanian dan kehutanan berhubungan sangat erat dan bentuk hubungannya multi dimensi. Ada kalanya hubungan itu adalah hubungan kompetitif dan bisa komplementer atau saling memperkuat. Kedepan, hubungan kompetitif  harus ditekan dan hubungan komplementer harus diperkuat.

Sayangnya, hubungan yang kompetitif antara pertanian dan kehutanan menyebabkan kondisi sumberdaya hutan dari masa ke masa terus mengalami penurunan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Luas kawasan hutan di berbagai wilayah mengalami penurunan (forest depletion) dan hutan yang tersisa mengalami penurunan kualitas (forest degradation). Laju penurunan kualitas dan kuantitas hutan ini sudah sangat mengkhawatirkan.  Banyak yang memperkiraka bahwa pada akhirnya kawasan hutan akan dapat berubah menjadi padang pasir (desertification). Mengapa laju ini begitu cepat dan susah dibendung,  merupakan pertanyaan pertanyaan pokok yang jawabannya belum tersedia secara komprehensif. Selanjutnya bagaimana pengaruh penurunan kualitas hutan terhadap produksi pertanian dan kesejahteraan masyarakat secara lokal dan bagaimana tanggapan kolektif masyarakat atas kondisi itu menghendaki pengkajian lebih jauh.

Upaya perbaikan kondisi hutan melalui reboisasi dan rehabilitasi kawasan hutan  telah lama dimulai dan telah dicoba dengan bergai pendekatan. Pada tahap awal, pemerintah sebagai pemegang otoritas secara sepihak melakukan langkah langkah rehabilitasi. Pendekatan ini dilakukan selama beberapa dekade, akan tetapi hasilnya belum memuaskan, sementara itu kawasan hutan terus mengamali deplesi.  Ada juga upaya rehabilitasi yang juga sudah dilakukan masyarakat, akan tetapi pada saat akan memetik hasil dari rehabilitasi oleh masyarakat, mereka dihadapkan pada aturan aturan hukum yang membuat mereka dianggap melanggar hukum ketika memanen hasil itu, tenurial hutan menjadi problematik. Perlu dicari upaya upaya  mendorong rehabilitasi oleh masyarakat dengan isentif insentif yang dapat mengembalikan hasil jerih payah mereka.

Berbagai faktor telah mempengaruhi kondisi hutan itu, sebagian faktor tersebut telah dipahami dengan baik, akan tetapi masih banyak yang belum diketahui. Saya telah memulai kajian perambahan hutan oleh petani kulit manis di Kabupaten Kerinci pada tahun 1990. Ini merupakan penelitian awal yang saya lakukan dalam memahami deplesi hutan. Faktor pasar global berupa permintaan internasional atas kulit manis pada waktu itu telah mendorong petani di sekitar kawasan Taman Nasional Kernci Seblat (TNKS) berlomba lomba membuka hutan. Ada insentif jangka pendek yang mereka peroleh dari perambahan itu yaitu berupa hasil tanaman semusim seperti kacang-kacangan dan sayuran seperti cabe. Dalam jangka panjang mereka akan mendapatkan hasil kulit manis. Di sini terjadi kompetisi penggunaan lahan antara pertanian dengan kehutanan.

Penelitian hubungan kehutanan dengan pertanian saya lanjutkan untuk memperoleh gelar MSc pada tahun 1995 dengan mengkaji insentif apa yang diperoleh petani apabila lahan hutan yang pada awalnya mereka gunakan untuk ladang-berpindah (shifting cultivation) di Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat dikonversikan menjadi lahan kebun karet rakyat. Jawabannya ternyata dengan menanam karet pada areal bekas ladang berpindah, mereka bisa mengklaim hak atas tanah yang lebih lama. Sepanjang masih ada tanaman karet, mereka punya  hak eklusif atas lahan karet tersebut, beda halnya bila lahan bekas perladangan berpindah mereka biarkan kosong maka lahan tersebut secara adat dapat diambil oleh keluarga lain. Lalu bagaimana mereka memenuhi kebutuhan pangan berupa beras yang biasanya mereka tanam sendiri di ladang. Jawabannya ternyata intensifikasi tanaman padi pada lahan beririgais menyebabkan harga beras lebih murah relatif terhadap karet. Petani hutan mulai menukar tanaman semusim berupa padi ladang dengan karet dan tanaman tahunan lainnya. Disini usaha pertanian memperkuat ekologi hutan karena  bekas lahan hutan ditanami lagi dengan  pepohonan seperti karet.  Ternyata peningkatan produksi padi pada lahan berigasi dapat mendorong pemulihan hutan sehingga hutan lebih lestari dan tekanan  terhadap hutan dapat dikurangi.  Kondisi hutan yang makin baik akhirnya akan dapat mensuplai air yang cukup untuk kebutuhan pertanian beririgasi. Di sini hutan mendukung produktifitas pertanian.

Perubahan-perubahan kebijakan secara makro pada tata pemerintahan jelas mempengaruhi hubungan manusia dengan hutan. Pada tahun 1999 pemerintah Indonesia meluncurkan kebijakan desentralisasi pemerintahan atau disebut juga otonomi daerah. Di propinsi Sumatera Barat otonomi daerah juga diterjemahkan dengan kembali ke sistem pemerintahan nagari sebagai bentuk pemerintahan terendah. Hal ini mengembalikan fungsi fungsi nagari sebagai unit pemerintahan dan memperkuat kedudukan nagari sebagai masyarakat hukum adat yang berhak mengelola sumberdaya alam lokal termasuk hutan. Pada tahun 2004 saya meneliti untuk disertasi S3 dengan melihat kaitan otonomi daerah dengan  kondisi hutan di propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan pada kawasan konservasi.  Otonomi daerah dan kembali ke pemerintahan nagari di Sumatera Barat ternyata memberikan peluang kepada masyarakat nagari untuk kembali terlibat dalam pengawasan hutan, misalnya  menjaga hutan dari penebangan liar. Di sini masyarakat melihat bahwa penebangan liar mengancam kelestarian hutan sementara hutan itu adalah sumber air bagi persawahan mereka. Dengan demikian otonomi daerah dapat memperkuat posisi masyarakat dalam pengelolaan hutan konservasi dengan insentif utama berupa suplai air untuk keperluan pertanian.

Dengan kondisi hutan yang makin kritis di berbagai negara, dimana Indonesia sepertinya juga mengarah ke kondisi yang demikian—sebagian negara telah mencoba merestorasi hutan mereka. Rehabilitasi hutan menjadi tugas pokok yang harus dijalankan pemerintah. Pada beberapa negara tetangga seperti Thailand dan Filipina, pemerintah setempat mengambil kebijakan menghentikan semua izin penebangan hutan (logging ban) atau mengambil langkah langkah penghentian sementara penebangan kayu di hutan alam (logging moratorium). Dengan memanfaatkan dukungan dana penelitian dari The Nippon  Foundation melalui program Asian Public Intelectuals, pada tahun 2008-2009 saya berkesempatan meneliti dampak logging ban terhadap penanaman kayu bangunan di luar kawasan hutan di Negara Thailand. Penelitian ini diperluas ke Negara Filipina dengan menggunakan  dana penelitian dari pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Ternyata upaya untuk merehabilitasi hutan tidak semudah pembabatan hutan. Banyak faktor akan mempengaruhi respon masyarakat terhadap upaya rehabilitasi; selain masalah rendahnya insentif dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapat manfaat dari rehabulitasi hutan berupa produksi kayu, ternyata birokrasi kayu itu sendiri menjadi disinsentif bagi masyarakat. Selanjutnya, ketika kayu kayu itu akan ditanaman di lahan pertanian, nilai ekonomi kayu ternyata lebih rendah daripada nilai ekonomi komoditi pertanian. Di sini kembali muncul kompetisi antara pertanian dengan kehutanan. Kecuali ada insentif lain, yang mungkin segera akan terwujud dengan adanya kompensasi emisi karbon, maka upaya rehabilitasi hutan dengan penanaman kayu belum akan menarik bagi masyarakat. Kalau nanti kompensasi karbon ini akan diwujudkan, pertanyaan yang akan muncul adalah seperti apa bentuk transaksi pada tingkat petani yang akan dapat memberikan insentif bagi penanaman kayu tersebut. Ini adalah salah satu agenda mendesak yang perlu didalami secara teoritis dan empiris.

Tampak jelas bahwa masih banyak ruang yang perlu dieksplorasi untuk mewujudkan hutan lestari dan pertanian mandiri.  Isue pokok seperti bagaimana sektor pertanian dapat mengkompensasi jasa lingkungan yang  dihasilkan hutan, baik berupa jasa air, plasma nutfah, dan serapan karbon menjadi arena yang perlu dipertajam selain isu isu konvensional seperti bagaimana kehutanan dapat memperkuat ketahanan pangan, mendorong keanekaragaman hayati, dan mengentaskan kemiskinan.

Rehabilitasi dan restorasi hutan adalah arena penting selanjutnya untuk diekplorasi. Beberapa isu penting seperti; kelembagaan yang menjamin keadilan antara pelaku restorasi dengan pemerintah dan pemilik kawasan hutan lainnya. Teknologi restorasi yang sesuai dengan kondisi setempat dan dapat diadopsi masyarakat. Administasi restorasi yang merangsang pemilik modal melakukan restorasi hutan.

Manajemen hutan ke depan juga merupakan arena yang perlu inovasi untuk mendukung hutan lestari. Selama ini pengelolaan hutan menjadi tanggung jawab pemerintah dan cendrung berada di bawah kondisi pengelolaan sub-optimal sehingga manfaat hutan juga menjadi sub-optimal. Sementara potensi ekonomi hutan masih banyak dan belum optimal dimanfaatkan. Pola pengelolaan yang bisa mendorong partisipasi berbagai pihak dan dengan insentif pengelolaan yang merangsang perlu mendapat porsi kajian yang cukup.  Terkait dengan itu, perlu pula dikaji skala pengelolaan yang optimal bagi hutan lestari.

Isu penting sekaitan pemanfaatan hutan untuk restorasi karbon dan adanya kompensasi dari restorasi karbon ini merupakan ruang yang masih sangat abu-abu. Isu pokoknya bukan saja bagaimana kompensasi ini akan dibagi kepada pihak pihak yang terkait tapi juga bagaimana membuat manfaat kompensasi karbon itu dikembalikan ke hutan untuk mendapatkan cadangan yang lebih banyak.

Sejumlah issu ini dapat dikerjakan oleh mahasiswa untuk disertasinya. Dari penelitian ini akan dapat menghasilkan beberapa buku teks dan artikel untuk diterbitkan pada jurnal internasional. Beberapa judul buku yang akan dihasilkan adalah;

  1. Restorasi hutan dan produktifitas pertanian
  2. Pola kompensasi karbon untuk petani skala kecil
  3. Pola pengelolaan hutan partisipatif san lestari.

Untuk topik Pengelolaan sumberdaya hutan lestari untuk mendukung pertanian” calon mahasiswa diharapkan dari S1 Pertanian, Kehutanan, dan Biologi sebanyak 2 orang. Topik penelitian untuk mahasiswa adala;

  1. Restorasi hutan pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan dampaknya terhadap produktifitas pertanian
  2. Analisa ekonomi rehabilitas hutan.

Categories